Yang sudah pasti di dunia ini adalah
kematian dan pajak, ini adalah perkataan seorang tokoh dunia bernama Benjamin
Franklin. Hampir semua sektor kehidupan pasti bersinggungan dengan pajak. Tak
terkecuali di negara kita, Indonesia. Untuk memperoleh kenikmatan, pasti juga
bersinggungan dengan pajak, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak
Hiburan, Pajak Restoran, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, hampir semua
sumber pendapatan juga dikenai Pajak Penghasilan(PPh), mulai dari gaji,
tunjangan, deviden, royalty dan lain-lain. Sehingga masih banyak masyarakat
yang enggan untuk membayar pajak, karena dengan membayar pajak akan mengurangi
jumlah pendapatan yang dan sumber kenikmatan
yang diperoleh.
Tidak heran bila banyak masyarakat
mengeluh akan hal ini, selain karena alasan mengurangi pendapatan yang
diperoleh, mereka juga berpendapat bahwa implementasi pemungutan pajak untuk
sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat[1] belum maksimal tercapai.
Dalam kenyataannya masih banyak sektor publik belum mendapat perhatian cukup
serius dari negara. Seperti masih banyaknya sarana transportasi seperti jalan
berlubang-lubang, pendidikan yakni banyak gedung sekolah tak layak pakai,
perekonomian yaitu pasar yang kumuh yang kurang memadai untuk kegiatan
masyarakat.
Padahal banyak diantara masyarakat
yang sudah ‘merelakan’ pajak kepada negara. Dengan harapan, mereka memberikan
sumbangsih agar negara juga ‘membalasnya’, misalnya dengan penyediaan lapangan pekerjaan,
ataupun kenaikan Upah Minimum Regional(UMR). Karena tak dipungkiri, bahwa
masyarakat kita masih banyak yang bekerja dengan penghasilan pas-pas an.
Walaupun memang secara PTKP(Penghasilan Tidak Kena Pajak) sudah memenuhi, namun
dengan keadaan sekarang dirasa masih memberatkan untuk dikenai pajak atas
penghasilannya.
Misalnya, Paijo seorang buruh di PT. Nike
Jakarta. UMR kota Jakarta tahun 2012 sebesar Rp. 1.529.150[2]. Paijo statusnya
TK/0(belum menikah, tidak punya tanggungan). Penghasilan Paijo dikenai PPh karena dalam setahun sudah memenuhi batas
PTKP, sehingga sesuai aturan dalam PPh, Paijo akan mendapatkan potongan pajak pasal 21
sebesar Rp.6.633 perbulan. Memang kecil
pajak yang dipungut, namun apabila dikalikan dalam jangka waktu setahun akan
berjumlah Rp.79.600 yang bisa jadi cukup memberikan manfaat bagi Paijo.
Mengingat biaya hidup di Jakarta yang cukup tinggi, uang tersebut lebih
berharga dimata Paijo. Di sisi lain ada sebagian kelompok masyarakat yang tetap
mampu ‘menikmati’ hidup walaupun dikenai pajak progresif sekalipun. Seperti
golongan orang terkaya di Indonesia, layaknya Aburizal Bakrie(pengusaha dan
pemimpin partai politik), Chairul Tandjung(pemilik trans.corp), dan sebagainya.
Mereka adalah golongan orang kelas
atas. Bagi mereka, pajak progresif sebesar apapun tak akan mempengaruhi jumlah ‘kenikmatan’
yang diperoleh. Tak masalah bagi golongan kelas atas tersebut untuk dikenai
pajak bermilyar-milyar, mengingat pendapatannya pun beratus-ratus milyar.
Bandingkan dengan pendapatan satuan juta seperti Paijo, dipotong pajak ratusan
ribu, lebih terasa dibandingkan dengan golongan masyarakat kelas atas tersebut.
Ketidakadilan itu bermula ketika
masyarakat golongan menengah bawah,
dengan segala daya dan upayanya membayar pajak, namun negara tidak
memberikan pelayanan maksimal. Disisi lain masyarakat golongan menengah ke
atas, tak akan risau ketika negara tidak memberikan pelayanan maksimal. Karena
dengan kekayaan yang mereka miliki, mereka masih bisa menggantinya dengan hal
lain. Contohnya adalah sarana transportasi. Jakarta memang dikenal dengan
jalanan yang hampir setiap saat macet, karena pertambahan jumlah penduduk yang tidak
diimbangi dengan peningkatan sarana angkutan masal. Selama ini hanyalah busway
yang menjadi andalan.namun kondisinya masih jauh dari kata ideal. Sehingga
masyarakat banyak terbuang waktu efektif untuk bekerja, terlebih pengguna
angkutan tersebut dan juga kendaraan pribadi misal motor. Bagi golongaan kelas
atas tersebut, mereka tidak mempermasalahkan hal tersebut, walaupun macet
mereka bisa saja menuju tujuan tanpa hambatan. Mereka mampu untuk menyewa pengawal
iring-iringan, untuk mengakomodir perjalanan mereka.
Inilah realita yang perlu diperhatikan
lebih lagi, akankah negara masih menjadikan pajak sebagai lumbung penerimaan
pendapatan, disisi lain masih banyak masyarakat yang penghasilannya memang
diatas PTKP namun sangat tidak ‘pantas’ dikenai pajak . Ada 2 pilihan untuk
mengurai hal tersebut, yaitu masyarakat tetap dikenai pajak dengan syarat
perbaikan sektor umum ataupun kenaikan nominal pendapatan, atau batas PTKP
dinaikkan.
Pilihan pertama mampu direalisasikan
dengan cara optimalisasi sektor penerimaan non pajak, seperti sektor migas,
pertambangan, perhutanan, perkebunan, BUMN, perdagangan, devisa negara dan
lain-lain. Perlu diketahui bahwa akibat kesalahan di masa lalu, banyak sumber
daya yang sebenarnya mampu dimaksimalkan menjadi pendapatan negara, ‘lari’ ke
tangan pihak asing. Seperti contoh kasus PT.Freeport, dimana pembagian hasil
yang tidak sesuai dengan keadaan karena negara hanya mendapat bagian 9,36%[3].
Pada kasus lain juga disebutkan, bahwa
Negara Indonesia hanya mendapat bagian kecil dari royalty PT.Freeport, bahwa meskipun
penjualan emas Freeport dari Papua nilainya besar, namun negara hanya mendapatan
jatah royalti 1%. Lalu untuk tembaga negara hanya mendapat jatah royalti
1,5%-3,5%. Royalti ini jelas jauh lebih rendah dari negara lain yang biasanya
memberlakukan 6% untuk tembaga dan 5% untuk emas dan perak[4].
Bila negara mampu menekan dan
memaksimalkan sektor itu, akan menambah jumlah pendapatan sektor nonpajak.
Sehingga akan mampu menambah kapasitas dalam pembangunan nasional. Secara tidak
langsung, bila pembangunan meningkat, akan mampu menambah lapangan atau
memperlancar arus kegiatan masyarakat, sehingga semakin banyak kegiatan yang
mampu dilakukan oleh masyarakat. Efek seterusnya adalah pendapatan akan naik
sehingga masyarakat mendapat tambahan kenaikan pendapatan.
Pilihan kedua juga bisa dilakukan
dengan tidak mengurangi jumlah penerimaan sektor pajak ,dengan cara menaikkan
batas PTKP. Dengan demikian andaikata negara belum menyediakan lapangan
pekerjaan yang memadai, makin banyak masyarakat
yang dapat ‘dibebaskan’ dari pajak dengan menggunakan cara tersebut. Akibat yang ditimbulkan memang
penerimaan negara secara keseluruhan berkurang, namun bisa ditanggulangi dengan
menaikkan tarif persen bagi golongan masyarakat kelas menengah atas. Karena jumlah
kekayaan mereka tetap akan tinggi setelah dikenai pajak progresif sekalipun.
Akhir kata, jika diberlakukan cara
seperti itu, keadilan lebih terlihat dalam realisasinya. Masyarakat benar-benar
mendapat potongan pajak dengan keadaan yang sudah ‘siap’. Seperti teori
pemungutan pajak gaya pikul yakni kekuatan seseorang untuk membayar uang kepada
negara adalah setelah dikurangi dengan minimum
kehidupan[5]. Bisa dianalogikan bahwa pajak itu
seperti beban dan minimum kehidupan adalah pikulan , apabila pikulan lebih
berat atau seseorang belum mampu memikul pikulannya maka tidak mungkin rakyat
mampu membawa beban dengan sempurna. Namun jika pikulan lebih ringan atau seseorang telah mampu membawa pikulan maka
rakyat sudah mampu membawa beban dengan sempurna.
Jadi, konsep pemungutan pajak yang
adil adalah dengan menaikkan batas PTKP atau dengan cara menaikkan pendapatan
masyarakatnya. Sehingga mereka tak akan terlalu berat dalam membayar pajak,
lalu mampu mereduksi keluhan akan beratnya kewajiban membayar pajak. Apabila
sikap yang terbentuk menjadi demikian dimana masyarakat menjadi tersadar membayar
pajak, secara langsung negara juga akan mendapat manfaat dengan kenaikan
pendapatan nasional. Yang kemudian juga akan meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat.
Jika seperti itu, tidak akan terjadi
semacam kerugian bagi salah satu pihak. Kedua pihak yaitu negara dan
masyarakatnya sama-sama tidak akan berkeberatan. Negara tidak berat mencari
sumber pendapatan, masyarakat juga tidak berat untuk menyisihkan sebagian
penghasilan untuk diberikan negara.
No comments:
Post a Comment