Thursday, June 7, 2012

Ketidakadilan Pajak


Yang sudah pasti di dunia ini adalah kematian dan pajak, ini adalah perkataan seorang tokoh dunia bernama Benjamin Franklin. Hampir semua sektor kehidupan pasti bersinggungan dengan pajak. Tak terkecuali di negara kita, Indonesia. Untuk memperoleh kenikmatan, pasti juga bersinggungan dengan pajak, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Hiburan, Pajak Restoran, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, hampir semua sumber pendapatan juga dikenai Pajak Penghasilan(PPh), mulai dari gaji, tunjangan, deviden, royalty dan lain-lain. Sehingga masih banyak masyarakat yang enggan untuk membayar pajak, karena dengan membayar pajak akan mengurangi jumlah pendapatan yang dan sumber kenikmatan yang diperoleh.
Tidak heran bila banyak masyarakat mengeluh akan hal ini, selain karena alasan mengurangi pendapatan yang diperoleh, mereka juga berpendapat bahwa implementasi pemungutan pajak untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat[1] belum maksimal tercapai. Dalam kenyataannya masih banyak sektor publik belum mendapat perhatian cukup serius dari negara. Seperti masih banyaknya sarana transportasi seperti jalan berlubang-lubang, pendidikan yakni banyak gedung sekolah tak layak pakai, perekonomian yaitu pasar yang kumuh yang kurang memadai untuk kegiatan masyarakat. 
Padahal banyak diantara masyarakat yang sudah ‘merelakan’ pajak kepada negara. Dengan harapan, mereka memberikan sumbangsih agar negara juga ‘membalasnya’, misalnya dengan penyediaan lapangan pekerjaan, ataupun kenaikan Upah Minimum Regional(UMR). Karena tak dipungkiri, bahwa masyarakat kita masih banyak yang bekerja dengan penghasilan pas-pas an. Walaupun memang secara PTKP(Penghasilan Tidak Kena Pajak) sudah memenuhi, namun dengan keadaan sekarang dirasa masih memberatkan untuk dikenai pajak atas penghasilannya.
Misalnya, Paijo seorang buruh di PT. Nike Jakarta. UMR kota Jakarta tahun 2012 sebesar Rp. 1.529.150[2]. Paijo statusnya TK/0(belum menikah, tidak punya tanggungan). Penghasilan Paijo dikenai  PPh karena dalam setahun sudah memenuhi batas PTKP, sehingga sesuai aturan dalam PPh, Paijo  akan mendapatkan potongan pajak pasal 21 sebesar  Rp.6.633 perbulan. Memang kecil pajak yang dipungut, namun apabila dikalikan dalam jangka waktu setahun akan berjumlah Rp.79.600 yang bisa jadi cukup memberikan manfaat bagi Paijo. Mengingat biaya hidup di Jakarta yang cukup tinggi, uang tersebut lebih berharga dimata Paijo. Di sisi lain ada sebagian kelompok masyarakat yang tetap mampu ‘menikmati’ hidup walaupun dikenai pajak progresif sekalipun. Seperti golongan orang terkaya di Indonesia, layaknya Aburizal Bakrie(pengusaha dan pemimpin partai politik), Chairul Tandjung(pemilik trans.corp), dan sebagainya.
Mereka adalah golongan orang kelas atas. Bagi mereka, pajak progresif sebesar apapun tak akan mempengaruhi jumlah ‘kenikmatan’ yang diperoleh. Tak masalah bagi golongan kelas atas tersebut untuk dikenai pajak bermilyar-milyar, mengingat pendapatannya pun beratus-ratus milyar. Bandingkan dengan pendapatan satuan juta seperti Paijo, dipotong pajak ratusan ribu, lebih terasa dibandingkan dengan golongan masyarakat kelas atas  tersebut. 
Ketidakadilan itu bermula ketika masyarakat golongan menengah bawah,  dengan segala daya dan upayanya membayar pajak, namun negara tidak memberikan pelayanan maksimal. Disisi lain masyarakat golongan menengah ke atas, tak akan risau ketika negara tidak memberikan pelayanan maksimal. Karena dengan kekayaan yang mereka miliki, mereka masih bisa menggantinya dengan hal lain. Contohnya adalah sarana transportasi. Jakarta memang dikenal dengan jalanan yang hampir setiap saat macet, karena pertambahan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan peningkatan sarana angkutan masal. Selama ini hanyalah busway yang menjadi andalan.namun kondisinya masih jauh dari kata ideal. Sehingga masyarakat banyak terbuang waktu efektif untuk bekerja, terlebih pengguna angkutan tersebut dan juga kendaraan pribadi misal motor. Bagi golongaan kelas atas tersebut, mereka tidak mempermasalahkan hal tersebut, walaupun macet mereka bisa saja menuju tujuan tanpa hambatan. Mereka mampu untuk menyewa pengawal iring-iringan, untuk mengakomodir perjalanan mereka.
Inilah realita yang perlu diperhatikan lebih lagi, akankah negara masih menjadikan pajak sebagai lumbung penerimaan pendapatan, disisi lain masih banyak masyarakat yang penghasilannya memang diatas PTKP namun sangat tidak ‘pantas’ dikenai pajak . Ada 2 pilihan untuk mengurai hal tersebut, yaitu masyarakat tetap dikenai pajak dengan syarat perbaikan sektor umum ataupun kenaikan nominal pendapatan, atau batas PTKP dinaikkan.
Pilihan pertama mampu direalisasikan dengan cara optimalisasi sektor penerimaan non pajak, seperti sektor migas, pertambangan, perhutanan, perkebunan, BUMN, perdagangan, devisa negara dan lain-lain. Perlu diketahui bahwa akibat kesalahan di masa lalu, banyak sumber daya yang sebenarnya mampu dimaksimalkan menjadi pendapatan negara, ‘lari’ ke tangan pihak asing. Seperti contoh kasus PT.Freeport, dimana pembagian hasil yang tidak sesuai dengan keadaan karena negara hanya mendapat bagian 9,36%[3].
Pada kasus lain juga disebutkan, bahwa Negara Indonesia hanya mendapat bagian kecil dari royalty PT.Freeport, bahwa meskipun penjualan emas Freeport dari Papua nilainya besar, namun negara hanya mendapatan jatah royalti 1%. Lalu untuk tembaga negara hanya mendapat jatah royalti 1,5%-3,5%. Royalti ini jelas jauh lebih rendah dari negara lain yang biasanya memberlakukan 6% untuk tembaga dan 5% untuk emas dan perak[4].
Bila negara mampu menekan dan memaksimalkan sektor itu, akan menambah jumlah pendapatan sektor nonpajak. Sehingga akan mampu menambah kapasitas dalam pembangunan nasional. Secara tidak langsung, bila pembangunan meningkat, akan mampu menambah lapangan atau memperlancar arus kegiatan masyarakat, sehingga semakin banyak kegiatan yang mampu dilakukan oleh masyarakat. Efek seterusnya adalah pendapatan akan naik sehingga masyarakat mendapat tambahan kenaikan pendapatan.
Pilihan kedua juga bisa dilakukan dengan tidak mengurangi jumlah penerimaan sektor pajak ,dengan cara menaikkan batas PTKP. Dengan demikian andaikata negara belum menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai, makin banyak masyarakat  yang dapat ‘dibebaskan’ dari pajak dengan menggunakan  cara tersebut. Akibat yang ditimbulkan memang penerimaan negara secara keseluruhan berkurang, namun bisa ditanggulangi dengan menaikkan tarif persen bagi golongan masyarakat kelas menengah atas. Karena jumlah kekayaan mereka tetap akan tinggi setelah dikenai pajak progresif sekalipun.
Akhir kata, jika diberlakukan cara seperti itu, keadilan lebih terlihat dalam realisasinya. Masyarakat benar-benar mendapat potongan pajak dengan keadaan yang sudah ‘siap’. Seperti teori pemungutan pajak gaya pikul yakni kekuatan seseorang untuk membayar uang kepada negara adalah setelah dikurangi dengan minimum kehidupan[5]. Bisa dianalogikan bahwa pajak itu seperti beban dan minimum kehidupan adalah pikulan , apabila pikulan lebih berat atau seseorang belum mampu memikul pikulannya  maka tidak mungkin rakyat mampu membawa beban dengan sempurna. Namun jika pikulan lebih ringan atau seseorang telah mampu membawa pikulan maka rakyat sudah mampu membawa beban dengan sempurna.
Jadi, konsep pemungutan pajak yang adil adalah dengan menaikkan batas PTKP atau dengan cara menaikkan pendapatan masyarakatnya. Sehingga mereka tak akan terlalu berat dalam membayar pajak, lalu mampu mereduksi keluhan akan beratnya kewajiban membayar pajak. Apabila sikap yang terbentuk menjadi demikian dimana masyarakat menjadi tersadar membayar pajak, secara langsung negara juga akan mendapat manfaat dengan kenaikan pendapatan nasional. Yang kemudian juga akan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Jika seperti itu, tidak akan terjadi semacam kerugian bagi salah satu pihak. Kedua pihak yaitu negara dan masyarakatnya sama-sama tidak akan berkeberatan. Negara tidak berat mencari sumber pendapatan, masyarakat juga tidak berat untuk menyisihkan sebagian penghasilan untuk diberikan negara.


No comments:

Post a Comment