Monday, May 21, 2012

JENIS BARANG DALAM EKONOMI


  • Barang konnkrit/nyata: ada wujudnya, dapat ditangkap dengan panca indera. (meja, kursi, makanan,tv)
  • Barang abstrak(jasa): hanya dapat dirasakan, tetapi tidak dapat ditangkap oleh panca indera(dokter, transportasi)
  • Barang ekonomi: barang yang keberadaanya terbatas, maka perlu pengorbanan untuk memperolehnya(mobil, rumah, motor)
  • Barang bebas/non-ekonomi: barang yang jumlahnya tak terbatas, sehingga untuk memperolehnya tidak perlu pengorbanan(air laut, udara, air hujan)
  • Barang primer : barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer ( nasi, pakaian, rumah)
  • Barang sekunder : barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder ( motor, TV, DVD)
  • Barang tersier : barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersier (mobil, laptop)
  • Barang konsumsi: barang yang dapat langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia(makanan, pakaian)
  • Barang produksi : barang yang tidak langsung memenuhi kebutuhan manusia, tetapi digunakan untuk proses menghasilkan barang
  • (mesin jahit, wajan, kompor, tepung)
  • Barang substitusi : barang yang dapat saling menggantikan fungsinya satu sama lain(nasi dengan roti)
  • Barang komplementer : barang yang dalam penggunaannya saling melengkapi satu sama lain(mobil dengan bensin, kompor gas dengan gas)
  • Barang mentah : barang yang belum diolah / mengalami proses produksi(pisang, apel, kapas, padi)
  • Barang setengah jadi : barang yang sudah mengalami proses produksi, tetapi belum dapat digunakan/ dikonumsi(benang masih harus diproses lagi untuk digunakan menjadi pakaian)
  • Barang jadi : barang hasil proses produksi yang siap untuk digunakan/dikonsumsi(pakaian)
  • Barang inferior : barang-barang yang berkualitas rendah, maka ketika pendapatan naik, kecenderungan akan konsumsi barang ini akan menurun(tahu, tempe)
  • Barang superior : barang-barang yang berkualitas bagus, maka ketika terjadi kenaikan pendapatan, konsumsi barang jenis ini cenderung akan meningkat(daging sapi, sosis)
  • Barang Giffen : barang yang memiliki kualitas rendah tetapi memiliki efek pendapatan yang negatif lebih besar dari efek substitusinya

Sunday, May 20, 2012

SELF ASSESSMENT SYSTEM PAJAK


SELF ASSESSMENT SYSTEM

Dalam menjalankan sebuah rumah tangga, sebuah keluarga memerlukan dana atau biaya untuk memenuhi kebutuhan sebuah rumah tangga tersebut demi berlangsungnya kehidupan rumah tangga. Demikian juga untuk menjalankan sebuah negara, juga membutuhkan biaya. Tentunya biaya yang dibutuhkan untuk berlangsungnya sebuah negara tidak sama dengan biaya yang dibutuhkan sebuah negara. Untuk menjalankan fungsinya sebagai Negara membutuhkan dana ratusan triliun rupiah. Apabila dalam sebuah rumah tangga, sumber pendanaan adalah dari pendapatan anggota keluarganya yang bekerja, lalu dari manakah dana  yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara tersebut? Pemasukan atau pendapatan sebuah negara sebenarnya terdiri dari banyak sumber, namun dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu Penerimaan Perpajakan(pajak penghasilan, bumi dan bangunan, pertambahan nilai, cukai, dll) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak(penerimaan sumber daya alam, laba BUMN, dll). Dari kedua sumber penerimaan tersebut, pajak adalah yang paling besar yakni hampir 80 %, maka dari itu pajak sanagatlah penting bagi kelangsungan pemerintahan di Indonesia.
Dalam pemungutan pajak, terdapat dua sistem yang paling mencolok yaitu self assessment dan office assessment. Self assessment merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri dari sistem ini adalah :
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri,
b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang,
c. Pemerintah (petugas pajak) tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
Sistem sedemikian rupa pada umumnya hanya diterapkan pada suatu pemerintahan yang setiap wajib pajaknya dipandang cukup mampu diserahi tanggung jawab dan kepercayaan untuk menghitung dan menetapkan pajaknya sendiri.
       Sedangkan official assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari sistem ini adalah :
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada padafiscus,
b. Wajib pajak bersifat pasif,
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak (berisi ketetapan mengenai jumlah utang pajak yang harus dibayar wajib pajak) oleh fiscus.
Dalam sistem ini pemerintah melalui petugas pajak masih cukup dominan untuk menghitung dan menetapkan utang pajak. Sistem ini umumnya diterapkan terhadap jenis pajak yang melibatkan masyarakat luas di mana masyarakat selaku subyek pajak atau wajib pajak dipandang belum mampu disertahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan pajak.*dikutip dari http://anto.blog.uns.ac.id/2009/04/21/pengenaan-pajak/

Dari ketiga sistem tersebut, menurut saya self assessment system merupakan sistem yang paling cocok diterapkan di Indonesia. Karena self assessment lebih cenderung menitik beratkan pada peran aktif wajib pajak dalam pemungutan pajak. Jadi wajib pajak sendirilah yang memutuskan untuk menentukan kapan ia untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) agar berikutnya dapat menghitung, lalu membayar, kemudian melaporkan pajaknya. Dalam sistem ini wajib pajak membayarkan pajaknya melalui bank maupun kantor pos, hal ini memudahkan wajib pajak, karena bank dan kantor pos sudah tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Memang sistem tersebut sangat rawan akan kesalahan atau pengurangan nilai pajak dari wajib pajak tersebut, karena hanya mengandalkan kejujuran si wajib pajak dalam semua proses penghitungan dan pelaporan pajaknya. Memang hal ini sangat mungkin terjadi dalam system self assessment , dan otomatis hal in akan mengurangi penerimaan yang harusnya masuk ke dalam kas penerimaan negara. ­dikutip dari Tesis Adi Prasetyawan (UPN Veteran)
Dibanding dengan office assessment system yang memberikan kewenangan kepada petugas untuk menentukan besarnya pajak melalui survey atau pemeriksaan langsung kepada wajib pajak tanpa melibatkan wajib pajak dalam penentuan besarnya pajak memang akan meminimalisirkan kesalahan dan penyelewengan dari wajib pajak yang “nakal”. Hal tersebut juga otomatis akan menambah penerimaan negara dari sektor perpajakan yang selama ini masing belum mencapai nilai yang seharusnya masuk ke dalam penerimaan, karena petugas pajak yang memeriksa langsung dan mendaftar apabila ada yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Melalui sistem yang demikian tidak akan ada lagi wajib pajak yang mangkir dari membayar pajak seperti saat ini, mungkin karena ketidak tahuan maupun sengaja tidak mau membayar pajak. Namun dalam office assessment system kita harus memikirkan untung ruginya, memang hal tersebut akan menambah penerimaan kas negara, namun menurut saya itu tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai pendataan dan pemeriksaan yang dilakukan petugas yang masih sangat minim dibanding wajib pajaknya.
Bila Indonesia menganut office assessment system bayangkan, berapa biaya yang dibutuhkan untuk transport petugas pajak untuk menjangkau wajib pajak yang tersebar di sekitar 17.000 pulau di penjuru negeri, belum biaya menginap para petugas selama menjalankan tugasnya untuk mendata, mensurvei, dan menghitung,  hanya untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh si wajib pajak. Menurut saya tambahan biaya yang dikeluarkan untuk hal tersebut akan lebih besar dari pada tambahan penerimaan negara yang dihasilkan dari penerapan office assessmet system tersebut. Dilihat dari segi waktu, juga kurang efisien, melakukan survey langsung dan mendata mungkin akan memakan waktu berbulan-bulan apabila dilihat dari data pembayar pajak tahun 2010 lalu yang berjumlah kurang lebih 16 juta wajib pajak, sedangkan petugas pajak hanya sekitar 30.000 petugas, sehingga wajib pajak yang harus disurvei oleh seorang petugas pajak sekitar 533 wajib pajak.
Jadi menurut saya untuk saat ini meskipun kesadaran akan pajak masih minim dan masih banyak penyelewengan nilai pajak oleh wajib pajak, self assessment system masih menjadi sistem yang paling cocok digunakan di Indonesia apabila dibandingkan dengan office assessmet system. Hal inilah yag menjadi tugas kita untuk menumbuhkan kesadaran para wajib pajak di Indonesia untuk membayar pajak sesuai nilai yang seharusnya, dan juga melakukan penyuluhan kepada masyarakat yang seharusnya membayar pajak, namun belum karena ketidaktahuan mereka tentang prosedur perpajakan di Indonesia. Hal ini kita lakukan untuk menciptakan Indonesia yang sejahtera, bayangkan bila setiap orang membayar pajak sesuai porsinya masing-masing, tidak akan ada orang miskin dan gelandangan di Indonesia.



REFERENSI :

Pancasila sebagai Sistem Filsafat


A.  Pengertian Filsafat
Istilah ‘filsafat’ secara etimologis merupakan padanan kata falsafah (Arab) dan philosophy (Inggris) yang berasal dari bahasa Yunani filosofia  (philosophia). Kata philosophia merupakan kata majemuk yang terususun dari kata philos atau philein yang berarti kekasih, sahabat, mencintai dan kata sophia yang berarti kebijaksanaan, hikmat, kearifan, pengetahuan.
Dengan demikian philosophia secara harafiah berarti mencintai kebijaksanaan, mencintai hikmat atau mencintai pengetahuan. Cinta mempunyai pengertian yang luas. Sedangkan kebijaksanaan mempunyai arti yang bermacam-macam yang berbeda satu dari yang lainnya.
Istilah philosophos pertama kali digunakan oleh Pythagoras. Ketika Pythagoras ditanya, apakah engkau seorang yang bijaksana? Dengan rendah hati Pythagoras menjawab, ‘saya hanyalah philosophos, yakni orang yang mencintai pengetahuan’.
Ada tiga pengertian filsafat, yaitu:
1.       Filsafat dalam arti proses dan filsafat dalam arti produk.
2.       Filsafat sebagai ilmu atau metode dan filsafat sebagai pandangan hidup
3.       Filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti praktis.
Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk, sebagai pandangan hidup, dan dalam arti praktis. Ini berarti  Filsafat Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia.
B.  Pengertian Filsafat Pancasila
Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila. Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh.
“Pancasila dikatakan sebahai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding father kita, yang dituangkan dalam suatu sistem.”
(Ruslan Abdul Gani).
“Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat dari Pancasila.” (Notonagoro).

Pembahasan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat  dapat dilakukan dengan cara deduktif dan induktif.
a.       Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang komprehensif.
b.      Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki dari gejala-gejala itu.
C.   Struktur Pancasila Sebagai Sistem Filsafat.

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis. Artinya, antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat  bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, komunisme dan sebagainya.
1. Ciri sistem Filsafat Pancasila itu antara lain:
1.       Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh. Dengan kata lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah maka itu bukan Pancasila.
2.       Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat digambarkan sebagai berikut:
a.       Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;
b.      Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4 dan 5;
c.       Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila 4, 5;
d.      Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3, dan mendasari dan menjiwai sila 5;
e.      Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.




2.       Inti sila-sila Pancasila meliputi:
1.       Tuhan, yaitu sebagai kausa prima
2.       Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial
3.       Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri
4.       Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong
5.       Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
Membahas Pancasila sebagai filsafat berarti  mengungkapkan konsep-konsep kebenaran Pancasila yang bukan saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan juga bagi manusia pada umumnya.Wawasan filsafat meliputi bidang atau aspek penyelidikan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga bidang tersebut dapat dianggap mencakup kesemestaan.
Oleh karena itu, berikut ini akan dibahas landasan  Ontologis Pancasila, Epistemologis Pancasila dan Aksiologis Pancasila.
Landasan Ontologis Pancasila
a.       Pengertian Ontologi
Ontologi, menurut Aristoteles adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau tentang ada, keberadaan atau eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika.

b.      Masalah Ontologi
    Masalah ontologis antara lain: Apakah hakikat sesuatu itu? Apakah realitas yang ada tampak ini suatu realitas sebagai wujudnya,  yaitu benda? Apakah ada suatu rahasia di balik realitas itu, sebagaimana yang tampak pada makhluk hidup? Dan seterusnya. Bidang ontologi menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan) manusia, benda, alam semesta (kosmologi), metafisika. Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila.

c.       Pancasila sebagai Filsafat dalam Ontologi
Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, malainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai dasar antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah manusia. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa yang Berketuhan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia.


d.      Manusia dalam Ontologi
Sedangkan manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka secara hirarkis sila pertama mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. (lihat Notonagoro, 1975: 53).
Hubungan kesesuaian antara negara dan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat:
a.       Negara sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu,  rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan.
b.      Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab, dan negara adalah sebagai akibat.
Landasan Epistemologis Pancasila
a.       Pengertian Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat  yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan.  Epistemologi adalah ilmu tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science of science.

b.      Masalah Epistemologi
Menurut Titus (1984:20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
1.       Tentang sumber pengetahuan manusia;
2.       Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;
3.       Tentang watak pengetahuan manusia.

c.       Pancasila sebagai Filsafat dalam Epistemologi
Secara epistemologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini berarti Pancasila telah menjadi suatu belief system, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi. Oleh karena itu Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam kedudukannya sebagai sistem pengetahuan. Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. 
Maka, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan  pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai tersebut merupakan kausa materialis Pancasila.


d.      Susunan Pancasila sebagai Suatu Sistem Pengetahuan
Tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan, maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal. Sifat hirarkis dan bentuk piramidal itu nampak dalam susunan Pancasila, di mana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainny, sila kedua didasari sila pertama dan mendasari serta menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelma, sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan keempat  
Dengan demikian susunan Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.
a.       Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu:
                                             i.      Isi arti Pancasila yang umum universal, yaitu hakikat sila-sila Pancasila yang merupakan inti sari Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak dalam pelaksanaan dalam bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan konkrit.
                                           ii.      Isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia.
                                          iii.      Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkrit, yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat khhusus konkrit serta dinamis (lihat Notonagoro, 1975: 36-40)
Menurut Pancasila, hakikat manusia adalah monopluralis, yaitu hakikat manusia yang memiliki unsure pokok susunan kodrat yang terdiri atas raga dan jiwa. Hakikat raga manusia memiliki unsur fisis anorganis, vegetatif, dan animal. Hakikat jiwa memiliki unsur akal, rasa, kehendak yang merupakan potensi sebagai sumber daya cipta manusia yang melahirkan pengetahuan yang benar, berdasarkan pemikiran memoris, reseptif, kritis dan kreatif. Selain itu, potensi atau daya tersebut mampu meresapkan pengetahuan dan menstranformasikan pengetahuan dalam demontrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham. Dasar-dasar rasional logis Pancasila menyangkut kualitas maupun kuantitasnya, juga menyangkut isi arti Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi.




e.      Manusia Dalam Epistemologi
Manusia pada hakikatnya kedudukan dan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tinggi.

Dengan demikian kebenaran dan pengetahuan manusia merupapakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkankebenaran yang tinggi. Selanjutnya dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, maka epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalamupaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
Landasan Aksiologis Pancasila
a.       Pengertian Aksiologi
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisika suatu nilai. Nilai (value dalam Inggris) berasal dari kata Latin  valere yang artinya kuat, baik, berharga. Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna. Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan. Nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia (dictionary of sosiology an related science). Nilai itu suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek.






Ada berbagai macam teori tentang nilai.
a.       Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya, dan dapat dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu:
1.       Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai yang mengenakkan dan nilai yang tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
2.       Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting dalam kehidupan, seperti kesejahteraan, keadilan, kesegaran.
3.       Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
4.       Nilai-nilai kerokhanian: dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang suci dan tidak suci. Nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978)

b.      Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke dalam delapan kelompok:
1.       Nilai-nilai ekonomis: ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.
2.       Nilai-nilai kejasmanian: membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan.
3.       Nilai-nilai hiburan: nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan.
4.       Nilai-nilai sosial: berasal mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia.
5.       Nilai-nilai watak: keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.
6.       Nilai-nilai estetis: nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.
7.       Nilai-nilai intelektual: nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran.
8.       Nilai-nilai keagamaan

c.       Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam,, yaitu:
1.       Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia.
2.       Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakana kegiatan atau aktivitas.
3.       Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani yang dapat dibedakan menjadi empat macam:
4.       Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
5.       Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, rasa) manusia.
6.       Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, karsa) manusia.
7.       Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.

d.      Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
1.       Nilai dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
2.       Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
3.       Nilai praksis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
4.       Nilai-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbansa, dan bernegara.

b.      Pancasila sebagai Filsafat dalam Aksiologis
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai Manusia Indonesia

D. Pandangan Integralistik dalam Filsafat Pancasila
                Pancasila sebagai asas keharmonian bangsa Indonesia merupakan asas kebersamaan asas kekeluargaan, dan religius, membentuk suatu integral (suatu bangsa yang merdeka). Soepomo dalam sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, Mengusulkan paham Integralistik yang berakar pada bangsa Indonesia, namun tidak sama dengan yang dikemukakan oleh Spinosa, Adam Muller, dan Heygen. Bangsa Indonesia terdiri atas manusia-manusia, sebagai individu, keluarga, kelompok, atau suku yang hidup dalam suatu wilayah yang terdiri atas beribu pulau, memiliki kekayaan budaya, merupakan suatu kesatuan integral.
Dalam Hubungan dengan masyarakat, paham Integralistik menggambarkan suatu masyarakat sebagai suatu kesatuan organis yang Integral. Setiap unsur berkewajiban untuk menciptakan keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan bersama. Paham Integralistik tidak mengenal dominasi mayoritas atau tirani minoritas
Pancasila merupakan kesatuan yang bulat dan utuh dari kelima silanya. Masing-masing sila tidak dapat dipahami dan diberi arti secara terpisah dari keseluruhan sila-silanya. Ini menggambarkan adanya paham persatuan atau pandangan Integralistik. Sila Persatuan Indonesia (Sila III Pancasila) Menegaskan perwujudan paham Integralistik dalam ketatanegaraaan kita. Sila III ini tercermin dalam permbukaan UUD RI 1945 yang berbunyi sebagai berikut : Negara begitu bunyinya melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (Penjelasan UUD RI 1945)
Teori Integralistik, Pada awalnya, diajarkan oleh Bennedict de Spinoza (1613-1677), Adam Heynrich Muller (1779-1829), George Fredrich Wilhelm Hegel (1770-1831), dll. mengajarkan bahwa negara  ialah susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dam merupakan persatuan masyarakat yang organis. Dalam aliran aliran pikiran integralistikini negara tidak memihak kepada suatu golongan yang paling kuat atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang menjadi pusat, tetapi menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan.